Pencemaran
lingkungan di berbagai negara, termasuk Indonesia, sudah sangat kompleks dan
mengkhawatirkan seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan diberbagai
bidang. Salah satu teknik dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang tercemar
adalah dengan teknik fitoremediasi. Menurut Priyanto & Prayitno (2006), fitoremediasi
berasal dari kata phyto (asal kata Yunani phyton) yang berarti tumbuhan/tanaman (plant) dan kata remediation (asal kata
Latin remediare = to remedy) yaitu memperbaiki/ menyembuhkan
atau membersihkan sesuatu. Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan
sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan,
atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik.
Menurut Mangkoedihardjo (2005), bahwa proses fitoremediasi secara umum
dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. USEPA (1999, 2005) dan ITRC (2001)
secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut:
1.
Fitostabilisasi
(phytostabilization); Akar tumbuhan
melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi, mengadsorpsi pada
permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam zona akar. Proses ini
secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik yang terkandung
minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa logam berat (sekitar 2-50%
kandungan minyak).
2.
Fitoekstraksi/fitoakumulasi
(phytoextraction/phytoaccumulation); Akar
tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ
tumbuhan. Proses ini cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik
seperti pada proses fitostabilisasi.
3.
Rizofiltrasi
(rhizofiltration); Akar tumbuhan
mengadsorpsi atau presipitasi pada zona akar atau mengabsorpsi larutan polutan
sekitar akar ke dalam akar. Proses ini digunakan untuk bahan larutan yang mengandung bahan
organik maupun anorganik.
4.
Fitodegradasi/fitotransformasi (phytodegradation/phytotransformation); gambar 5. Organ tumbuhan
menguraikan polutan yang diserap melalui proses metabolisme tumbuhan atau
secara enzimatik.
5.
Rizodegradasi (rhizodegradation/enhanced
rhizosphere biodegradation/
phytostimulation/plant-assisted-bioremediation/degradation); Polutan yang
diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh ragi, fungi,
dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alkohol, asam. Eksudat itu merupakan
makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini tepat untuk dekontaminasi zat
organik.
6.
Fitovolatilisasi
(Phytovolatilization); Penyerapan
polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke atmosfer. Kontaminan bisa mengalami
transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Proses ini tepat digunakan untuk
kontaminan zat-zat organik.
Tumbuhan
hiperakumulator adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk
mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa
tinggi. Batas hiperakumulator berbeda-beda bergantung pada jenis logamnya,
misalnya kadmium 0,01% (100 mg/kg BK) sedangkan kobalt, tembaga dan timbal
adalah 0,1% (1.000 mg/kg BK) serta seng dan mangan adalah 1% (10.000 mg/kg BK).
Laporan pertama mengenai adanya tumbuhan hiperakumulator muncul pada tahun 1948
oleh Minguzzi dan Vergnano, yang menemukan kadar nikel setinggi 1,2% dalam daun
Alyssum bertolonii. Sejak itu,
terutama dengan mengandalkan analisis mikro terhadap spesimen herbarium,
diketahui ada 435 taxa tumbuhan hiperakumulator logam yang tumbuh tersebar di
lima benua dan semua wilayah iklim (Baker, 1999 dalam Priyanto & Prayitno, 2006).
Menurut
Fitter (1982) dalam Arisandi (2001),
mekanisme yang mungkin dilakukan oleh tumbuhan untuk menghadapi konsentrasi
toksik adalah:
1.
Penanggulangan (ameliorasi);
untuk meminimumkan pengaruh toksin terdapat empat pendekatan, yaitu :
a.
Lokalisasi
(intraseluler atau ekstraseluler); biasanya pada organ akar.
b.
Ekskresi;
secara aktif melalui kelenjar pada tajuk atau secara pasif melalui akumulasi
pada daun-daun tua yang diikuti dengan pengguguran daun.
c.
Dilusi (melemahkan); melalui
pengenceran.
d.
inaktivasi secara kimia;
mekanisme pembentukan kompleks logam sering dijumpai pada tumbuhan, seperti
pada tembaga (Cu) yang biasanya mengalami translokasi pembentukan kelat dengan
asam-asam poliamino-polikarboksilik.
2.
Toleransi;
tumbuhan mengembangkan sistem metabolik yang dapat berfungsi pada konsentrasi
toksik.
Fitoremediasi
Lingkungan Tercemar Pb
Berbagai
penelitian fitoremediasi telah banyak dilaksanakan dalam usaha memperbaiki
kualitas lingkungan yang tercemar logam Pb. Beberapa diantaranya dilakukan pada
lingkungan perairan. Seperti dilaporkan Moenandir & Hidayat (1993) dalam Sitorus (2007) bahwa, kangkung air
(Ipomea aquatic) ternyata dapat
meningkatkan mutu air yang tercemar oleh air limbah dan mampu menyerap logam
berat yang terlarut dalam media tumbuh. Hasil penelitian mereka terhadap air
limbah tekstil, obat-obatan, pabrik roti
dan aquadest mampu menurunkan kadar logam Pb 0,92 ppm. Hasil
penelitian Osmolovskaya &
Kurilenko (2005) menemukan bahwa beberapa jenis makrofita mampu berperan dalam
fitoremediasi terhadap Pb. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Elodea Canadensis, Ceratophyllum demersum L.,
dan Potamogeton natans L. mampu
menyerap Pb dalam air masing-masing sebesar 27,4 , 10, 7 dan 9,3 mg kg -1
DW.
Sedangkan
yang dilaporkan oleh Liao & Chang (2004), bahwa eceng
gondok (Eichhornia crassipes)
memiliki kemampuan dalam menyerap Pb. Selama penelitan mereka yang dilakukan di
perairan Erh-Chung wetland
menunjukkan bahwa eceng gondok mampu menyerap Pb sebesar 542 mg/m2
dengan kapasitas penyerapan sebesar 5,4kg/ha. Pengukuran kandungan Pb ini dilakukan terhadap
jaringan tanaman, media air dan sedimen. Hal ini dilakukan karena adanya
korelasi antara kandungan Pb di dalam jaringan tanaman dan media tumbuh. Menurut Wilson (1988) dalam Arisandi (2001), bahwa logam berat yang terlarut dalam air akan
berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau
materi organik yang melapisi permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh
permukaan partikel sedimen. Materi organik dalam sedimen dan kapasitas
penyerapan logam sangat berhubungan dengan ukuran partikel dan luas permukaan
penyerapan, sehingga konsentrasi logam dalam sedimen biasanya dipengaruhi
ukuran partikel dalam sedimen.
Menurut Reddy (1990) dalam Sitorus (2007),
kehadiran tanaman air di dalam kolam pengolahan sangat potensial untuk
menyaring dan menyerap bahan yang terlarut di dalam limbah seperti logam–logam
berat (Hg, Pb, Cn, Mn, Mg dan lain-lain), melangsungkan pertukaran dan
penyerapan ion, serta memelihara kondisi perairan dari pengaruh angin, sinar
matahari dan suhu. Selain itu tanaman air juga aman, relatif sederhana dan
murah.
Tanaman air seperti eceng gondok dan kangkung air,
yang tampak tidak memiliki nilai ekonomis tinggi, ternyata memiliki kemampuan
sebagai tumbuhan yang berperan dalam mengurangi dampak pencemaran lingkungan.
Pengendalian pencemaran lingkungan perairan akibat Pb secara biologis (misalnya
fitoremediasi) merupakan metode yang sangat efektif, disamping mudah, murah,
memberikan manfaat yang besar, juga relatif tidak menimbulkan dampak sampingan.
Menurut Priyanto & Prayitno (2006),
usaha untuk meningkatkan akumulasi logam berat, khususnya Pb, telah dilakukan
di beberapa laboratorium. Ilya Raskin dan kolega di AgBiotech Center berusaha menaikkan tingkat akumulasi Pb oleh Brassica juncea dengan memberikan zat
pengkhelat ke dalam tanah. Hasilnya menunjukkan, bahwa dengan memberikan
khelator EDTA ke dalam tanah yang mengandung 600 mg Pb/kg, tumbuhan Brassica juncea mampu mengakumulasi Pb
hingga 1,5% biomassanya. Dengan demikian bila dianggap hasil biomassa adalah 12
t/ha, maka sebanyak 180 kg Pb/ha dapat diambil dari dalam tanah. Untuk mencapai
hasil yang tinggi ini tambahan biaya untuk pemberian EDTA diperhitungkan
sekitar US$7,50/t tanah yang digarap.
Menurut Homaee (2006) bahwa, tanaman lobak
(Rhaphanus sativa
L.) mampu berperan dalam fitoremediasi logam Pb. Konsentrasi maksimum Pb di
dalam akar yaitu sebesar 440
µg/gr, sedangkan di dalam daun sebesar 42 µg/gr. Dalam penelitian ini terlihat
bahwa lobak berperan dalam proses fitoekstraksi. Sedangkan yang dilaporkan oleh
Huang, dkk. (1997), bahwa, tanaman
jagung (Zea mays L.) dan kacang kapri
(Pisum sativum L.) dapat menyerap Pb.
Melalui penambahan EDTA di dalam tanah meningkatkan konsentrasi Pb di dalam
pucuk kedua tumbuhan tersebut dari sekitar 500 mg/kg menjadi 10.000 mg/kg
dimana kandungan Pb di dalam tanah lebih kurang 2.500 mg/kg.
Dari hasil yang diperoleh di atas
menunjukkan bahwa tanaman-tanaman pangan ternyata mampu berperan dalam
fitoremediasi terhadap tanah yang tercemar Pb. Hal ini menuntut kita untuk
lebih waspada dalam mengkonsumsi hasil dari tanaman-tanaman tersebut. Untuk
menghindari terjadinya akumulasi logam-logam berat berbahaya (seperti Pb) di
dalam tanaman pangan perlu dikaji lebih mendalam mengenai komposisi media tanam
(tanah), pestisida maupun pupuk. Dalam proses perbaikan lingkungan dengan
teknik fitoremediasi tidak dianjurkan menggunakan tumbuhan yang dikonsumsi,
sebab dapat membahayakan kesehatan manusia jika tumbuhan tersebut dikonsumsi.
Timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Pb masuk ke dalam tubuh manusia melalui air
minum, makanan atau udara, yang dapat menyebabkan gangguan pada organ seperti gangguan
neurologi (syaraf), ginjal, sistem reproduksi, sistem hemopoitik serta sistem
syaraf pusat (otak) terutama pada anak yang dapat menurunkan tingkat
kecerdasan. Pb dihasilkan dari berbagai kegiatan, seperti kegiatan industri (industri
pengecoran maupun pemurnian, industri battery, industri bahan bakar, industri
kabel serta industri bahan pewarna), sisa pembakaran kendaraan bermotor dan
penambangan.
Fitoremediasi merupakan suatu teknik dimana tanaman tertentu, secara
sendiri atau bekerjasama dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan
air), dapat mengubah zat kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau
tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi. Fitoremediasi
menggunakan tumbuhan yang bersifat hiperakumulator. Tumbuhan hiperakumulator
terhadap Pb adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan
Pb di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi.
Berbagai jenis tanaman dapat berperan dalam fitoremediasi, baik itu
tanaman pangan ataupun nonpangan. Untuk menghindari terjadinya akumulasi logam
berat Pb di dalam tanaman pangan perlu dikaji lebih mendalam mengenai komposisi
media tanam (tanah), pestisida maupun pupuk. Sedangkan untuk pemanfaatan teknik
fitoremediasi terhadap lingkungan tercemar Pb sebaiknya menggunakan tanaman
nonpangan. Beberapa jenis tanaman nonpangan yang tumbuh di air dan di tanah
memiliki kemampuan sebagai tanaman hiperakumulator terhadap Pb. Untuk itu
teknik fitoremediasi dapat digunakan dalam rangka memperbaiki lingkungan yang
terindikasi adanya perncemaran Pb.